Pintu Pemakzulan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terbuka lebar apabila pemerintah pusat memaksakan diri melantik Pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara Thaib Armaiyn-Abdul Ghani Kasuba sebagai Gubernur dan Wakil Gubenur pada Senin (29/9) pukul 14.00 WIT, yang masih dalam sengketa.
Keputusan tersebut diambil secara mendadak menyusul fax dari Departemen Dalam Negeri Nomor 121.82/2961/s.1 yang meminta DPRD menyusun angenda rapat paripurna istimewa untuk pelantikan gubernur dan wakil gubernur Maluku Utara.
“Kita tetap harus menghormati amanat konstitusi (UUD Negara Repulik Indonesia) pasal 22 E ayat 5 yang berbunyi :“Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”, demikian diungkapkan Ir. Sayuti Asyathri, Wakil Ketua Komisi II DPR RI di Jakarta (29/9) dini hari.
“Setelah disahkan Undang Undang nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelanggaran Pemilu maka profil KPU telah ditegaskan kedudukannya sesuai dengan amanat konstitusi tersebut terutama untuk menjaga sifat-sifatnya yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Artinya KPU yang baru dibentuk berdasarkan undang undang tersebut tidak memberi peluang untuk adanya intervensi apapun baik oleh lembaga lembaga negara yang lain maupun oleh partai dan kekuatan politik”, ungkapnya.
Sayuti melanjutkan, “Keputusan KPU tentang hasil Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara dengan demikian setelah dikirimkan oleh KPU melalui DPRD kepada Presiden tidak boleh dirubah oleh Presiden dengan pasangan yang lain yang tidak dinyatakan menang oleh KPU Provinsi”.
“Presiden hanya memiliki kewenangan untuk menetapkan pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur yang diajukan oleh KPU tersebut dalam waktu paling lama 30 hari setelah tanggal pengajuan. Hal ini sesuai dengan ketentuan dan amanat pasal 109 ayat (4) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004. Kalau Presiden tetap memutuskan untuk mengesahkan pasangan lain selain yang diusulkan oleh KPU maka para pihak yang memiliki legal standing dapat mengajukan gugatan atas presiden pada Mahkamah Konstitusi bahwa Presiden dianggap telah melanggar konstitusi”, kata Ketua Litbang PAN ini.
“Sesuai dengan konstruksi ketentuan dalam Undang Undang Dasar Republik Indonesia pasal 7A yang berbunyi :
Presiden dan atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam pasal 7b ayat (2), dikatakan bahwa :
Pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut atapun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPR.
Adapun pendapat DPR tersebut dapat didahului dengan gugatan oleh yang memiliki legal standing yang kemudian hasilnya dapat digunakan oleh DPR untuk memproses secara formal sebagai formalitas untuk memenuhi ketentuan pasal 7A dan seterusnya 7B ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7)”, ungkapnya meyakinkan.
“Konstruksi Undang Undang Dasar tentang pemakzulan memberi peluang DPR dapat mengajukan pemakzulan presiden kepada MPR dengan cara yang lebih ringkas atau jalan pintas dengan hanya melakukan sedikit perubahan atas tata tertib DPR yang memberi kewenangan kepada DPR untuk memproses usulan pemakzulan berdasarkan hasil putusan dari gugatan yang diajukan oleh yang memiliki legal standing. Perubahan tata tertib tersebut adalah turunan dari amanat konstitusi pasal 7A yang memberikan kewenangan kepada DPR untuk memberikan pendapat dalam rangka pemakzulan presiden / wakil presiden”, kata Alumni UI ini.
“Melihat posisi legal yang seperti itu mestinya siapa saja Presiden yang memiliki kewarasan konstitusi tidak akan nekad untuk memutuskan pemenang pilkada Gubernur / Wakil Gubernur yang tidak sesuai dengan keputusan KPU. Makanya kita hampir tidak pernah percaya bahwa Presiden yang selama ini terkenal sangat waras konstitusi, mau mengambil satu tindakan yang begitu tidak waras secara konstitusi, satu istilah yang untuk pertama kalinya digunakan oleh DR. Thamrin Amal Tomagola khusus terkait dengan pilkada Maluku Utara, apalagi keputusan tersebut dibuat dalam bulan ramadhan, beberapa hari sebelum Idul Fitri. Artinya Presiden tiba-tiba menjadi sangat tidak arif dan bijaksana terhadap kondisi damai di Maluku Utara dalam suasana yang kental dalam silaturahmui dan saling memaafkan tiba-tiba dirusak oleh sebuah keputusan yang bisa dianggap merusak kedamaian Ramadhan dan Idul Fitri”, kata Sekretaris FPAN MPR RI ini.
“Sebenarnya mengingat masa jabatan Presiden yang sudah tinggal sedikit lagi, impeachment terhadap Presiden tidak efisien dan bisa menimbulkan instabilitas politik yang menggangu kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi pelanggaran konstitusi tersebut bisa membawa dampak yang jauh lebih parah yaitu ketidakpastian hasil-hasil pemilu legislatif dan presiden tahun 2009 nanti. Yaitu apapun hasil pemilu nanti bisa saja tidak diterima oleh Presiden dan di intervensi kewenangan KPU sehingga menimbulkan dampak lebih besar terhadap nasib perjalanan bangsa kita ke depan”, ungkap pria penggemar filsafat Islam ini mengakhiri pembicaraan.